La Galigo merupakan salah satu karya sastra Bugis klasik yang dapat dikategorikan karya sastra mitos. Aspek-aspek kemitosannya dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu aspek internal dan eksternal teks. Aspek internalnya antara lain dapat terlihat dari tokoh-tokohnya yang sebagian besar dilakonkan oleh para dewa dan makhluk-makhluk adikodrati, tempatnya sebagian berlatar tempat suci, yaitu Bating Langiq (kerajaan langit) dan Buriq L iuq (kerajaan alam bawah tanah), peristiwanya telah lama terjadi. Sedangkan aspek eksternalnya, dapat kita lihat pada masyarakat pendukungnya, dalam hal ini manusia Bugis, yang sampai sekarang ini masih senantiasa mensakralkannya, bahkan menganggap bahwa semua peristiwa yang terjadi di dalam I La Galigo benar-benar pernah terjadi.
Berdasarkan ribuan halaman manuskripnya dan jalinan tokohnya yang berbelit-belit Kem (1939:1) menempatkan teks I La Galigo sebagai karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia yang setaraf dengan Mahabarata dan Ramayana dari India serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.
I La Galigo terdiri atas beberapa episode yang diklasifikasi berdasarkan isi ceritanya, salah satu di antaranya adalah “Mula Uloqna Batara Guru’ (Saat Diturunkannya Batara Guru) yang menjadi sumber saduran dalam tulisan ini. Episode tersebut diambil dari buku yang berjudul I La GaligoMenurud Naskah NBG 188 yang disusun oleh A rung Pancana Tai (jilid I), Naskah asli teks tersimpan di perpustakaan KITLV Leiden. Buku ini dikerjakan atas kerja Sama Belanda-Indonesia; ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Muhammad Salim dan Fachruddin Ambo Enre atas bantuan Nurhayati Rahman, dengan dewan Redaksi Sirtjo Koolhof dan Roger Tol. Buku ini diterbitkan atas kerjasama antara KITLV dan Penerbit Jambatan, 1995 di Jakarta.
I La Galigo ditulis dengan menggunakan aksara Bugis atau aksara lontaraq (sebab ditulis di atas daun lontar) dengan menggunakan bahasa Bugis kuno sebagai alat penyampaiannya. Dengan demikian, bahasa Bugis yang digunakan oleh penyair atau pengarang dalam cerita itu bukanlah bahasa Bugis seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari atau yang banyak digunakan pengarang dalam pustaka lain yang tidak tergolong karya sastra.
Fungsi Sosial Cerita
Karena I la Galigo merupakan karya sastra mitos, maka sebagian besar masyarakat Bugis menganggapnya sebagai kitab suci. Sampai sekarang ini sebagian besar orang Bugis menggantungkan hidupnya pada kekuatan gaib yang terdapat pada tokoh-tokoh I La Galigo. Masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang masih merupakan penganut sisa-sisa kepercayaan lama orang Bugis seperti yang tergambar dalam I La Galigo. Orang To Lotang beranggapan bahwa I La Galigo mengandung kekuatan gaib yang dapat memberikan pertolongan kepada manusia, membaca sepotong syair. I La Galigo menurutnya dapat menyembuhkan penyakit cacar, disentri, dan sebagainya.
Secara kultural, mitos I La Galigo berfungsi untuk memberikan penuntun bagi masyarakat pendukungnya bagaimana cara berprilaku, bertutur kata, bersopan santun, dan hidup bermaysrakat. Karena itu, meskipun Islam telah dianut oleh orang Bugis tapi sisa-sisa kepercayaan itu sebagian besar masih mengkristal dalam kehidupan kultural dan sosial masyarakat Bugis.
Demikianlah secara singkat gambaran mengenai fungsi cerita dalam sastra Bugis klasik Galigo yang salah satu episodenya disadur pada bagian berikut tulisan ini. Peruilis menyadari bahwa saduran tersebut, hanyalah sekedar mencoba memperlihatkan kepada khalayak pembaca bahwa sastra Bugis klasik sesungguhnya ada. Dan betapa pun juga, keberadaannya itu tidaklah hampa, dia merupakan warisan pikiran, perasaan, dan cita-cita leluhur bangsa yang tentunya sebagian nilai yang dikandungnya masih tetap relevan untuk kepentingan pembangunan bangsa dewasa ini yang sesungguhnya masih dalam proses mencari bentuk.
Story by SULFA | BLOG
Tags: